Pba.umsida.ac.id-Di era Society 5.0, teknologi tidak lagi sekadar alat bantu melainkan menjadi fondasi kehidupan sosial modern.
Baca Juga: Signifikansi Kamus Mahmud Yunus sebagai Media Bahasa Arab yang Berdaya Guna
Konsep yang pertama kali dicetuskan oleh Dr. Yuko Harayama ini menekankan pentingnya integrasi teknologi canggih seperti artificial intelligence (AI), big data, dan Internet of Things dalam segala aspek kehidupan.
Namun, tidak semua kalangan masyarakat merasakan kemajuan ini secara merata. Kelompok difabel masih tertinggal jauh dalam aksesibilitas digital.
Bahasa Arab Sebagai digitalisasi bahasa isyarat untuk penyandang disabilitas
Muhammad Iqbal Wi’an Ekaputra dan Najih Anwar dari Program Studi Pendidikan Bahasa Arab Universitas Muhammadiyah Sidoarjo mengusulkan solusi digitalisasi bahasa isyarat untuk penyandang disabilitas dalam menyambut era Society 5.0 yang semakin berbasis teknologi. Solusi ini penting karena keterbatasan akses digital masih menjadi hambatan bagi kelompok difabel di Indonesia.
Dalam artikel ilmiah yang diterbitkan oleh House of Wisdom: Journal on Library and Information Sciences, dua dosen dari Universitas Muhammadiyah Sidoarjo mengungkapkan bahwa digitalisasi inklusif belum menyentuh sendi kehidupan kaum difabel. Berdasarkan data dari Susenas tahun 2020, hanya 36,7 persen kelompok difabel yang memiliki gawai atau laptop. Sementara itu, kelompok nondifabel mencatat angka 59,4 persen. Fakta ini menunjukkan kesenjangan digital yang nyata.
Selain itu, studi yang dilakukan oleh Accessibility Foundation pada tahun 2020 menemukan bahwa 70 persen aplikasi mobile populer belum memenuhi standar aksesibilitas bagi pengguna difabel. Hal ini semakin memperkuat posisi difabel sebagai “anak tiri” dalam narasi kemajuan teknologi nasional.
Salah satu penyebab rendahnya angka keterjangkauan digital adalah pengalaman negatif yang dialami difabel saat berinteraksi dengan teknologi. Banyak dari mereka tumbuh di lingkungan yang belum memiliki kesadaran literasi digital yang baik. Indeks literasi digital Indonesia pada 2021 menurut Kementerian Komunikasi dan Informatika masih berada pada angka 3,49 dari skala 5. Indonesia juga tercatat sebagai negara dengan tingkat literasi digital terendah di kawasan ASEAN dengan persentase hanya 62 persen.
Masalah infrastruktur juga menjadi penghambat serius. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik, indeks pembangunan Teknologi Informasi dan Komunikasi Indonesia hanya mencapai 5,85 dari skala 10. Selain itu, laporan Speedtest Global Index 2024 menempatkan Indonesia di peringkat 97 dari 147 negara berdasarkan kecepatan internet. Ketimpangan akses internet antarwilayah di Indonesia juga signifikan, dengan Pulau Sulawesi mencatat tingkat penetrasi hanya 68,35 persen, jauh dibandingkan Pulau Jawa yang mencapai 83,64 persen.
Muhammad Iqbal dan Najih Anwar menilai bahwa momentum era Society 5.0 seharusnya menjadi peluang besar untuk mendorong budaya digital yang inklusif. Dalam artikel mereka, keduanya menyarankan agar bahasa isyarat yang selama ini digunakan oleh difabel untuk berkomunikasi, segera didigitalisasi melalui teknologi seperti Augmented Reality (AR) dan audiobooks.
Keduanya menjelaskan bahwa tunanetra memiliki kemampuan pendengaran yang lebih tajam, sehingga mereka akan terbantu dengan penggunaan audiobook. Sebaliknya, tunarungu yang memiliki penglihatan lebih tajam akan sangat terbantu dengan visualisasi simbol dari teknologi AR.
Digitalisasi Lewat Sumber Al-Qur’an
Upaya digitalisasi bahasa isyarat ini bukan semata berbasis teknologi, tetapi juga dikuatkan oleh basis teologis. Penulis mengutip QS. Al-Imran ayat 41, yang mengisahkan Nabi Zakaria menggunakan bahasa isyarat untuk berkomunikasi karena tidak mampu berbicara selama tiga hari. Ayat tersebut menggunakan kata ar-ramz, yang menjadi dasar teologis bahwa isyarat merupakan bentuk komunikasi yang valid dan inklusif, bahkan dalam kitab suci.
Gerakan digitalisasi ini, menurut penulis, perlu dijadikan budaya di tengah masyarakat. Tidak hanya soal pengembangan aplikasi, tetapi juga menyangkut sosialisasi, pelatihan, dan pembiasaan penggunaan teknologi yang ramah difabel. Pemerintah, akademisi, dan masyarakat luas diharapkan berperan aktif dalam mewujudkan hal ini.
“Society 5.0 menuntut pemerataan akses digital. Jika tidak dimulai dari sekarang, maka ketimpangan akan semakin besar dan kelompok difabel akan makin tersisih dari kemajuan zaman,” tegas mereka dalam artikel tersebut.
Baca Juga: Bagaimana Mikroplastik Bisa Masuk ke Tubuh Manusia? Ini Penjelasan Dosen Umsida
Dengan landasan ilmiah, data, dan teologis yang kuat, gagasan ini menjadi langkah awal menuju Indonesia yang lebih inklusif dan adil dalam menghadapi transformasi digital global.